BREAKING NEWS

Menu

Nabung Surbakti : Napak Tilas Sejarah Sang Panglima Perang Sunggal


Nabung Surbakti - Sejarah - Mengingat Nama Nabung Surbakti pasti kita ingat mengenai Perang Sunggal, Nabung Surbakti merupakan pahlawan nasional dari tanah karo,karena kisah keberaniannya dalam mempertahankan wilayah sunggal ia diberi julukan Panglima perang Sunggal dan Tanduk Benua.

Sejarah Perang Sunggal

Ilustrasi Perang Sunggal
Perang Sunggal adalah perang terlama di Indonesia terhadap penjajah Belanda selama 23 Tahun yang terjadi pada awal tahun 1872 dan berakhir pada tahun 1895. Setelah hancurnya Sunggal kemudian di lanjutkan lagi oleh Nabung Surbakti yang membuat markasnya di Tanduk Benua. Perang tersebut terjadi kurang lebih selama 3 tahun lamanya. Nabung Surbakti atau sering juga di panggil Pulu Jumaraja lahir di Desa Bunga Pariama sebuah kampung yang sekarang ini berada di kecamatan Kutalimbaru kabupaten Deli Serdang Tanah Karo.

Setelah hancurnya Sunggal pada perang sunggal, Belanda mengira masyarakat Karo akan menyerah namun, ternyata perjuangan masyarakat Karo dilanjutkan lagi oleh Nabung Surbakti yang membuat markasnya di Tanduk Benua dan terjadi kurang lebih selama 3 tahun.

Perang Tanduk Benua ini juga disebabkan oleh kolonialis Belanda yang bekerjasama dengan Sultan Deli berniat untuk mencaplok tanah ulayat masyarakat Karo dan dijadikan perkebunan tembakau.

Sehingga, Nabung Surbakti yang sering juga dipanggil Pulu Juma Raja dan lahir di desa Bunga Pariama, sebuah kampung yang sekarang ini berada di Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deliserdang.

Kemudiah memimpin para Simbisa dan bekerjasama dengan pasukan Urung Sunggal Serbanyaman dibawah pimpinan Datuk Jalil Surbakti dan Datuk Sulung Surbakti melawan tentara Belanda dan tentara Sultan Deli.
Sultan Deli yang tidak memiliki pasukan bersama Pangeran Langkat meminta bantuan Belanda untuk memerangi rakyat Karo.

Ilustrasi Perang Sunggal [ Sumber Gambar : Karosiadi ]

Dalam peperangan, Nabung Surbakti selalu mengambil gunung atau bukit sebagai benteng pertahanan sekaligus basis perjuangannya. Namun, akhirnya pasukannya terdesak dari benteng pertahanannya di Tanduk Benua.
Lalu mereka mundur ke Tigabinanga dengan tujuan lain yaitu untuk memudahkan koordinasi dengan teman-teman pejuang lain di sekitar Tiga Binanga, Juhar dan pejuang dari Alas dan Gayo.


Nabung Surbakti adalah Panglima Perang Sunggal yang mampu mengerahkan sejumlah banyak sekali orang Pasukan Simbisa. Para Simbisa di bawah pimpinan panglima Nabung Surbakti bersama Pasukan Urung Sunggal yang berada di bawah pimpinan Datuk Jalil Surbakti dan Datuk Sulung Surbakti melawan tentara Belanda dan tentara Sultan Deli. Sultan Deli yang tidak memiliki pasukan bersama Pangeran Langkat meminta bantuan Belanda untuk memerangi rakyat karo.

Penyebab Terjadinya Perang Sunggal


Perkembangan ekonomi kapitalisme di belahan Eropa mulai dari abad ke-17 membawa dampak ke berbagai belahan dunia lainnya. Salah satu wilayah yang tidak luput dari pengaruh itu adalah Sumatra Timur. Kualitas mutu tembakau Deli sebagai pembalut cerutu terbaik menggoda para kapitalis untuk menguasai lahan-lahan kepunyaan rakyat.

Perkebunan Tembakau Deli [ Sumber Gambar : Sipayo ]

Pihak Belanda melalui tangan para investor perkebunan tembakau mulai bertindak semena-mena dengan menyeroboti tanah-tanah rakyat. Hal ini dianggap penghinaan oleh rakyat terutama suku Karo yang tinggal di daerah pedusunan Deli. imbas dari inu mulailah rakyat karo yang tinggal dalam pedusunan menganggu perkebunan Belanda yang wujud dari ketidak senangan mereka terhadap klaim sepihak Sultan Deli dan Sultan Langkat atas tanah-tanah mereka yang kemudian dikontrakkan oleh sultan-sultan itu kepada pihak investor perkebunan.

Menanggapi gejolak yang ada, maka pada bulan Desember 1871, Datuk Badiuzzaman selaku Raja Urung Sunggal Serbanyaman beserta kerabat dan orang-orang dekatnya, termasuk orang-orang Karo dari pegunungan mengadakan rapat rahasia di sebuah kebun lada. Rapat ini dihadiri oleh Datuk Kecil Surbakti (Mahini), Datuk Jalil Surbakti, Datuk Sulong Barat Surbakti, Nabung Surbakti (Pulu Jumaraja) selaku komandan pasukan orang Karo pegunungan, dan Tuanku Hasyim mewakili Panglima Nyak Makam sebagai komandan Laskar Aceh, Alas dan Gayo.

Hasil pikir dari pertemuan itu adalah kesepakatan seluruh pihak yang hadir untuk menentang dan mempertahankan setiap jengkal tanah warisan leluhur dari penyerobotan pihak Belanda. Selain itu, juga disepakati bahwa seluruh pihak yang hadir untuk secara bersama-sama mengusir para penjajah yang biadab.

Genderang Perang Sunggal tak terelakkan

Ilustrasi Perang Sunggal [ Sumber Gambar : Karosiadi ]
akhirnya genderang Perang Sunggal tak terelakkan, gendrang pertama sekali ditabuh pada bulan Mei tahun 1872, pada saat terjadi peristiwa tembak menembak antara pasukan Sunggal dengan pasukan Belanda di berbagai tempat. Pada peristiwa tembak menembak ini para pejuang Sunggal menewaskan dua serdadu Belanda serta melukai beberapa orang termasuk komandan Letnan Lange. Pada tanggal 24 Juni 1872, pasukan Datuk Sulung Barat Surbakti berhasil menghancurkan pasukan Belanda di Sapo Uruk dan Tanduk Benua.

Disebabkan perlawanan yang begitu luar biasa dari pejuang Sunggal, maka Pemerintah klonial Belanda melalui Asisten Residen Riau, Locker de Bruijne, mencoba untuk menyelesaikannya melalui jalur diplomasi. Raja Urung Serbanyaman, Datuk Badiuzzaman Surbakti, beserta beberapa orang pengulu kampung Karo Dusun lainnya dikumpulkan. Datuk Badiuzzaman Surbakti diminta secara paksa untuk memerintahkan para pejuang Sunggal menghentikan perlawanan dan pulang ke rumah masing-masing. Namun, permintaan Belanda itu ditolak olehnya dan ia pun dikenakan hukuman tahanan kota.

Trio Surbakti melakukan perlawanan terhadap kolonialis Belanda adalah Badiuzzaman Surbakti, Madini Surbakti dan Nabung Surbakti. Ketika kolonialis Belanda berhasil memperdaya Baduizzaman Surbakti dan Madini Surbakti dan mengasingkan mereka ke Cianjur Jawa Barat. Maka panglima perang Nabung Surbakti melanjutkan perlawanan perang Grillia melawan Belanda.

Perang Tanduk Benua tidak bisa di pisahkan dari sejarah panjang perang sunggal. Perang Tanduk Benua ini terjadi ketika kolonialis Belanda yang bekerja sama dengan Sultan Deli mencaplok tanah wilayah masyarakat karo untuk di jadikan perkebunan tembakau. Setelah sunggal jatuh ke tangan Belanda, Belanda mengira rakyat karo akan menyerah. Namun secara mendadak sering terjadi serangan pada malam hari yang terkenal dengan gerakan musuh berngi.

Akhir Perlawanan Nabung Surbakti

Perang sunggal yang di mulai dari tahun 1872 dan terus menerus hingga sampai kedataran tinggi karo. Nabung Surbakti akhirnya terdesak dari benteng pertahanannya di Tanduk Benua. Lalu mundur ke Tigabinanga sekaligus untuk memudahkan berkordinasi dengan teman-teman pejuang lain di sekitar Tigabinanga ,Juhar dan Pejuang dari Alas dan Gayo. Akhirnya Nabung Surbakti tertangkap oleh pasukan Belanda di bukit Padiam dan melumpuhkannya dengan tembakan ke perutnya dan di arak melewati beberapa desa.

Ilustrasi Perang Sunggal [ Sumber Gambar : Karosiadi ]

Nabung Surbakti di gelandang dan di pertontonkan kepada orang-orang di Desa. Desa yang di lewati yaitu Desa Kidupen, Desa Jaberneh , Desa Pergendangen dan Desa Gunung. Kemudian di adili di Jambur Tengah di Desa Gunung. Nabung Surbakti di eksekusi di sepanjang jalan dan terakhir di tembak mati di tepian sungai Lau Gunung di dekat Desa Kuala kecamatan Tigabinanga.

Sahabat Nabung Surbakti yang bermarga Sebayang menguburkan Nabung Surbakti di ladangnya di daerah Desa Kuala. Itulah teror yang di lakukan oleh Belanda untuk menakut-nakuti rakyat di kawasan tersebut.

Keberanian yang tak bertara melekat pada diri Nabung Surbakti. Di keberaniannya melekat kebenaran, kejujuran dan ketulusan perjuangan bagi rakyat dan negrinya. Nama Nabung Surbakti kemudian di abadikan menjadi sebuah nama jalan di Kaban Jahe. Hal ini merupakan bukti penghormatan sekaligus penghargaan terhadap jasa-jasa yang di berikan beliau semasa hidupnya.

Share artikel ke: Facebook Twitter Google+ Linkedin Technorati Digg