Tana Toa Kajang - NusaPedia - Suku Kajang - Hutan di Indonesia adalah termasuk hutan hujan tropis yang sering
digambarkan sebagai hutan yang lebat, padahal tidak selalu demikian
karena hutan tropis di Indonesia sangat bervariasi mulai dari hutan
primer sampai hutan mangroove.
Hutan hutan luas di Indonesia masih dapat dijumpai di Kalimantan,
Sumatera, Papua atau Sulawesi.Selain hutan yang
sangat luas, didalam hutan Indonesia juga terdapat berbagai flora dan
fauna yang bahkan beberapa merupakan jenis endemik yang hanya dapat
ditemukan di Indonesia.
Namun mirisnya, banyak beberapa kasus seperti kebakaran hutan,
Penebangan liar besar besaran yang dilakukan secara sengaja demi
mengekplorasi sumber daya hutan tersebut yang mengakibatkan beberapa
area hutan menjadi gundul dan tentunya menyebabkan pemanasan global.
Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan bagi
kehidupan manusia membuat proses ini masih saja berjalan di hutan kita.
Inilah salah satu suku yang berhasil mempertahankan tradisinya dengan baik di Pulau Sulawesi. Mendiami salah satu desa di pedalaman Kabupaten Bulukumba, di Provinsi Sulawesi Selatan, suku Kajang adalah daya tarik yang sulit dilewatkan saat Anda menyambangi “Bumi Pembuat Pinisi” (baca; Bulukumba). Suku Kajang hidup dengan cara tradisi ketat, dimana saat Anda menyambangi desa ini maka tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding tembok. Di dalam setiap rumah tidak ada perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan peralatan elektronik. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Inilah salah satu suku yang berhasil mempertahankan tradisinya dengan baik di Pulau Sulawesi. Mendiami salah satu desa di pedalaman Kabupaten Bulukumba, di Provinsi Sulawesi Selatan, suku Kajang adalah daya tarik yang sulit dilewatkan saat Anda menyambangi “Bumi Pembuat Pinisi” (baca; Bulukumba). Suku Kajang hidup dengan cara tradisi ketat, dimana saat Anda menyambangi desa ini maka tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding tembok. Di dalam setiap rumah tidak ada perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan peralatan elektronik. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para leluhur.
Berbeda halnya dengan Suku Kajang ,Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional, yang terletak di
kabupaten bulukumba Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah timur
kota Makassar. Daerah kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun
perlu diketahui, kajang di bagi dua secara geografis, yaitu kajang dalam
(Suku Kajang, mereka disebut “tau kajang”) dan kajang luar (orang-orang
yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern, mereka
disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative
modern, mereka disebut “tau lembang”).
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak
bertanggung jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut masyarakat adat Ammatoa—dalam melestarikan
kawasan hutannya seolah-olah memberi secercah harapan bagi kelestarian
lingkungan alam.
Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi
Selatan, mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara
geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan
ekonomi dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh
hubungan masyarakat adat dengan lingkungan hutannya didasari atas
pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti seorang ibu
yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi
atas Kajang Dalam dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar
di beberapa desa, antara lain Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng,
Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah Desa Tambangan. Kawasan
Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli
di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan Seppa di sebelah
Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar
tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah
Kecamatan Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto
Minasa dan Desa Batu Lohe (Aziz, 2008).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang
masih sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka
memraktekkan cara hidup sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu
yang berbau teknologi. Bagi mereka, benda-benda teknologi dapat membawa
dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena bersifat merusak
kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan pakaian
serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa
(Widyasmoro, 2006).
Menelisik Lebih Dalam Sang Penjaga Kelestarian Hutan Bulukumba
Inilah salah satu suku yang berhasil
mempertahankan tradisinya dengan baik di Pulau Sulawesi. Mendiami salah
satu desa di pedalaman Kabupaten Bulukumba, di Provinsi Sulawesi
Selatan, Suku Kajang adalah daya tarik yang sulit dilewatkan saat Anda
menyambangi “Bumi Pembuat Pinisi” (baca; Bulukumba). Suku Kajang hidup
dengan cara tradisi ketat, dimana saat Anda menyambangi desa ini maka
tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding tembok. Di dalam
setiap rumah tidak ada perabotan rumah tangga. Tidak ada kursi ataupun
kasur. Mereka juga tidak menggunakan peralatan elektronik. Mereka
menganggap, modernitas dapat menjauhkan Suku Kajang dengan alam dan para
leluhur.
Suku Kajang mendiami wilayah Desa Tana
Toa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan.
Lokasinya sekira 200 km arah timur kota Makassar dan 56 km dari pusat
Kota Bulukumba. Luasan wilayah Desa Tana Toa sekira 331,17 hektar dan
terbagi menjadi dua, yaitu suku Kajang luar dan Kajang dalam. Masyarakat
Kajang luar, tersebar dan menetap di tujuh dusun. Sementara masyarakat
Kajang dalam tinggal di satu dusun yaitu Benteng. Di dusun Benteng
inilah, masyarakat Kajang secara keseluruhan melakukan segala ritual dan
aktivitas yang berkaitan dengan adat istiadat. Meski suku ini terbagi
kedalam dua kelompok, akan tetapi tidak ada perbedaan diantara mereka.
Semuanya berpegang teguh terhadap ajaran leluhur.
Dinamai Tana Toa, karena desa tua ini
dihuni sekumpulan warga adat Kajang yang percaya bahwa tanah mereka
merupakan daerah tertua dan pertama kali diciptakan Tuhan di muka Bumi
sehingga mereka patut menjaganya sebagai tanah warisan leluhur.
Masyarakat Tana Toa percaya bahwa Bumi ini adalah warisan nenek moyang
yang berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus
mendapatkan warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis. Saat ini
diperkirakan luasan hutan adat mereka sekira 317,4 hektar.
Masyarakat adat Kajang Bulukumba
memegang teguh ajaran leluhur yang mereka sebut pasang ri kajang atau
berarti pesan di kajang. Ajaran pasang itulah yang dinilai ampuh
melestarikan hutan mereka dari kerusakan. Pemimpin adat mereka yang
disebut ammatoa akan memimpin warganya melindungi hutan yang mereka bagi
tiga, yaitu: hutan keramat (hutan karamaka), hutan perbatasan (hutan
batasayya) serta hutan rakyat (hutan laura).
Setiap akhir tahun, masyarakat adat suku
kajang melakukan ritual andingingi yang berarti mendinginkan alam. Ini
merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas kemurahan alam dengan
cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam untuk
diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu
tahun.
Masyarakat Tana Toa Kajang selalu
mengenakan sarung hitam (lipa’ le’leng) yang dibuat dengan proses
alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan Kajang.
Pakaian serba hitam tersebut bermakna kebersahajaan, kesederhanaan,
kesamaan atau kesetaraan seluruh masyarakatnya. Pakaian hitam juga
dimaksudkan agar mereka selalu ingat kematian atau dunia akhir. Makna
kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, akan
tetapi juga dari bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini. Semua
bentuk, ukuran serta warnanya seragam, beratap rumbia serta berdinding
papan. Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya menggunakan bambu dan di
sekitarnya semua pemukiman Warga menghadap kearah kiblat.
Kearifan lokal suku ini didapatkan dari
alam sekitar. Masyarakat adat Kajang mempunyai struktur kelembagaan
dimana semua individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut,
melaksanakan dengan konsisten dan bertanggung jawab. Pemimpin mereka
disebut Ammatoa. Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya
akan dipilih setelah tiga tahun lamanya. Para calon Ammatoa
dikumpulkan, seekor kerbau atau ayam yang sudah diberi mantra akan
dilepas ke dalam hutan. Bila kerbau atau ayam tersebut memasuki sebuah
rumah penduduk, maka pemilik rumah itulah yang akan menjadi Ammatowa
seumur hidupnya.
Masyarakat Desa Tana toa, tidak pernah
merasakan bangku pendidikan secara formal melainkan pelajaran terbaik
mereka adalah dari alam sekitar. Oleh karena itu, sulit ditemukan warga
di kawasan ini yang mampu berbahasa Indonesia. Dalam kesehariannya,
masyarakat adat Kajang menggunakan bahasa Konjo. Dalam hal perkawinan,
masyarakat Tana Toa harus kawin dengan sesama masyarakat kawasan
tersebut. Jika tidak, dia harus meninggalkan kawasan adat.
Know Before You Go..!!
Suku Kajang merupakan suku yang masih memegang teguh ritual adatnya
hingga saat ini. Meskipun sekarang sudah banyak suku pedalaman yang
meninggalkan ritual adatnya. Suku kajang juga merupakan suku yang sangat
tidak bisa menerima perubahan meskipun hanya sedikit. Mereka menganggap
perubahan itu melanggar hukum adat yang di buat oleh nenek moyang
mereka.
Suku unik, alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih
terjaga, dan lain-lain, menjadikan kajang adalah salah satu favorit
wisata budaya. Salah satunya yang membuat terhambatnya wisata kesana
adalah, ketakukan orang luar memasuki kajang. Karena mendengar orang
kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”, semacam sihir dan
kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang” sendiri
agak tertutup dengan orang-orang luar.
Anda yang datang ke sini harus mengikuti
aturan adat. Tidak boleh menggunakan kendaraan modern, hanya boleh
menunggangi kuda atau berjalan kaki. Anda pun harus mengikuti khas kain
adat hitam.
Perhatikan bahwa bagi Suku Kajang, hutan
adalah warisan leluhur yang amat mereka jaga sehingga siapapun dilarang
melakukan tindakan yang merusak. Apabila terjadi pelanggaran terhadap
peraturan adat dengan merusak hutan maka akan dikenakan denda
Rp1.200.000 di tambah sehelai kain putih serta mengembalikan barang yang
telah diambil dari daerah tersebut.
Seorang Amatoa akan menentukan wilayah
tebang hutan semisal untuk rumah atau kelengkapan bersama. Sebelum
melakukan penebangan pohon, orang tersebut diwajibkan melakukan
penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh subur, penebangan
baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional serta
mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.
Suku Kajang terkenal dengan hukum
adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga sekarang.
Terkait
pencurian atau barang yang hilang, Suku Kajang menerapkan dua ritual,
yaitu: tunu panroli dan tunu passau. Tunu panroli yaitu mencari pelaku
pencurian dengan cara setiap warga memegang linggis yang membara setelah
dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah, tidak akan merasakan panasnya
linggis tersebut tetapi apabila sang pencuri melarikan diri maka
dilakukanlah tunu passau yaitu ammatoa membakar kemenyan sambil membaca
mantra yang dikirimkan kepada pelaku agar jatuh sakit dan akhirnya
meninggal dunia secara tidak wajar.
Betapa Indah Kearifan Negeri di Tana Toa Kajang Ini,dimana kita masih dapat menemukan kelestarian hutan dengan segenap keunikan dan tradisi yang memegang teguh adat istiadat dengan hukum
adatnya yang sangat kental dan masih berlaku hingga saat ini.Entah sampai kapan Indahnya Kearifan Negeri serta kelestarian hutan Indonesia tetap terjaga,maka jawabannya adalah "Indahnya Kearifan Negeri serta kelestarian hutan Indonesia adalah kewajiban kita bersama,hutan bukan untuk kita..tapi juga untuk warisan anak dan cucu kita".
Sumber Gambar : Ammatoa