Suku Sunda: Mengenal Sejarah dan Adat Budaya nya

Tentu, mari kita beralih ke pembahasan mengenai Suku Sunda, salah satu kelompok etnis terbesar di Indonesia yang berasal dari bagian barat Pulau Jawa. Meskipun berbeda dengan Suku Karo yang mendiami Sumatera Utara, Suku Sunda memiliki kekayaan budaya dan tradisi yang sangat menarik.

Identitas dan Bahasa:

Suku Sunda memiliki bahasa sendiri, yaitu Bahasa Sunda, yang merupakan salah satu bahasa daerah yang paling banyak dituturkan di Indonesia. Sapaan khas dalam Bahasa Sunda adalah "Sampurasun", yang merupakan salam pembuka yang memiliki makna harapan akan keselamatan dan kebaikan.

Wilayah Adat:

Secara tradisional, wilayah adat Suku Sunda meliputi sebagian besar Provinsi Jawa Barat, Banten, dan sebagian kecil Jawa Tengah (terutama daerah Brebes dan Cilacap). Namun, karena migrasi, komunitas Sunda dapat ditemukan di berbagai wilayah lain di Indonesia.

Sejarah dan Kerajaan:

Masa Prasejarah dan Awal Mula:

Asal usul Suku Sunda diperkirakan berasal dari gelombang migrasi bangsa Austronesia yang datang dari Taiwan melalui Filipina dan mencapai Pulau Jawa sekitar 1500 SM hingga 1000 SM. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa nenek moyang Suku Sunda berasal dari Sundalandia, sebuah daratan luas yang kini sebagian tenggelam dan membentuk Selat Malaka, Laut Jawa, dan Selat Sunda.

Munculnya Kerajaan-Kerajaan Sunda:

Sejarah Suku Sunda kemudian ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan yang berkuasa di wilayah barat Jawa. Beberapa kerajaan penting yang tercatat adalah:

  • Kerajaan Tarumanagara (abad ke-4 hingga ke-7 Masehi): Meskipun bercorak Hindu-Buddha dan tidak secara eksklusif merupakan kerajaan Sunda modern, Tarumanagara memiliki pengaruh besar di wilayah ini dan dianggap sebagai salah satu cikal bakal peradaban Sunda. Beberapa prasasti peninggalan Tarumanagara ditemukan di wilayah yang kini menjadi bagian dari Tatar Sunda, seperti Prasasti Ciaruteun dan Prasasti Kebon Kopi.
  • Kerajaan Sunda (abad ke-7 hingga ke-16 Masehi): Kerajaan ini dianggap sebagai kelanjutan dari Tarumanagara. Berdasarkan naskah Wangsakerta, kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 M. Ibu kota kerajaan ini beberapa kali berpindah, hingga akhirnya mencapai puncak kejayaannya di Pakuan Pajajaran di bawah pemerintahan Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) pada abad ke-15 dan awal abad ke-16. Masa ini dianggap sebagai Zaman Keemasan kebudayaan Sunda. Kerajaan Sunda memiliki wilayah kekuasaan yang luas, meliputi sebagian besar Jawa Barat, Banten, dan bahkan sebagian kecil Jawa Tengah dan Sumatera bagian selatan. Keberadaan Kerajaan Sunda didukung oleh berbagai prasasti, baik yang berbahasa Sunda Kuno maupun bahasa lain, seperti Prasasti Batutulis yang memuat informasi tentang Sri Baduga Maharaja. Carita Parahyangan, sebuah naskah Sunda Kuno dari abad ke-16, juga menceritakan sejarah kerajaan ini.
  • Kerajaan Galuh (abad ke-7 hingga ke-15 Masehi): Kerajaan ini seringkali memiliki hubungan yang erat, bahkan kadang bersatu atau terpisah dengan Kerajaan Sunda. Lokasinya berada di sebelah timur Kerajaan Sunda, dengan batas alam Sungai Citarum.
  • Kesultanan Banten (abad ke-16 hingga ke-19 Masehi): Setelah keruntuhan Kerajaan Sunda akibat serangan dari Kesultanan Banten dan Cirebon yang telah memeluk Islam, muncul Kesultanan Banten yang memiliki akar budaya Sunda yang kuat namun bercorak Islam.

Masa Kolonial:

Kedatangan bangsa Eropa, terutama Belanda, membawa perubahan besar di wilayah Sunda. Setelah melalui berbagai perlawanan, wilayah Sunda menjadi bagian dari Hindia Belanda. Pengaruh kolonial terasa dalam berbagai aspek kehidupan, namun budaya dan bahasa Sunda tetap bertahan.

Masa Kemerdekaan hingga Kini:

Setelah kemerdekaan Indonesia, wilayah Sunda menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat dan Banten. Masyarakat Sunda terus berkontribusi dalam pembangunan bangsa sambil tetap melestarikan warisan budaya mereka. Bahasa Sunda tetap menjadi bahasa ibu bagi sebagian besar penduduk di wilayah ini, dan kesenian serta tradisi Sunda terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Sumber Sejarah:

Sejarah Suku Sunda ditelusuri melalui berbagai sumber, antara lain:

  • Prasasti: Batu-batu bertulis yang memuat informasi tentang kerajaan, silsilah, dan peristiwa penting. Contohnya adalah Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Batutulis, dan Prasasti Kawali.
  • Naskah Kuno: Manuskrip-manuskrip yang ditulis pada daun lontar atau kertas tradisional (daluang) yang berisi catatan sejarah, mitologi, sastra, dan ajaran agama. Contohnya adalah Carita Parahyangan, Babad Pajajaran, dan Sanghyang Siksa Kandang Karesian.
  • Tradisi Lisan (Pantun): Cerita-cerita yang diturunkan secara lisan melalui nyanyian dan puisi, seringkali menceritakan kisah kepahlawanan dan legenda masa lalu, terutama tentang Prabu Siliwangi.
  • Catatan Asing: Catatan dari para pedagang, musafir, dan utusan dari negara lain, seperti catatan dari Tiongkok dan Eropa, yang memberikan informasi tentang kondisi wilayah dan masyarakat Sunda pada masa lalu.
  • Peninggalan Arkeologi: Situs-situs kuno, bangunan, dan artefak yang memberikan bukti fisik tentang keberadaan peradaban Sunda di masa lampau, seperti Situs Karangkamulyan dan Candi Cangkuang.

Sistem Kekerabatan:

Sistem kekerabatan Suku Sunda menganut prinsip bilateral atau parental, yang berarti garis keturunan ditarik sama pentingnya dari pihak ayah (bapak) maupun ibu (ema). Berbeda dengan beberapa suku bangsa lain di Indonesia yang menganut sistem patrilineal (garis keturunan ayah) atau matrilineal (garis keturunan ibu), dalam masyarakat Sunda, kedudukan dan hak keturunan dari kedua belah pihak keluarga adalah setara.

Berikut adalah beberapa poin penting dalam sistem kekerabatan Suku Sunda:

  • Tidak Ada Marga: Suku Sunda tidak memiliki sistem marga seperti pada Suku Batak (termasuk Karo), Minangkabau, atau beberapa suku lainnya. Nama keluarga biasanya mengikuti nama ayah atau ibu, atau bahkan nama kakek/nenek, tanpa adanya ikatan marga yang kuat dan turun-temurun.
  • Penekanan pada Keluarga Inti: Unit kekerabatan yang paling utama adalah keluarga inti (kulawarga inti) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak.
  • Hubungan Luas dengan Keluarga Besar: Meskipun tidak ada marga, hubungan dengan keluarga besar (dulur) dari pihak ayah maupun ibu tetap penting. Istilah kekerabatan digunakan untuk membedakan hubungan dalam keluarga besar, seperti:
    • Aki: Kakek (dari pihak ayah atau ibu)
    • Nini: Nenek (dari pihak ayah atau ibu)
    • Emang/Ua: Paman (adik laki-laki atau kakak laki-laki dari ayah atau ibu)
    • Bibi/Tante: Bibi (adik perempuan atau kakak perempuan dari ayah atau ibu)
    • Lanceuk: Kakak (laki-laki atau perempuan)
    • Adi: Adik (laki-laki atau perempuan)
    • Misah: Sepupu (anak dari emang, ua, bibi, atau tante)
    • Incuk: Cucu
    • Buyut: Cicit
  • Peran Orang Tua: Orang tua memiliki peran sentral dalam keluarga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sementara ibu berperan sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik utama anak-anak. Namun, peran ini seringkali fleksibel dan dapat saling melengkapi.
  • Adat Pernikahan: Dalam pernikahan adat Sunda, kedua belah pihak keluarga memiliki peran dan tanggung jawab yang sama penting. Tidak ada konsep "pemberi istri" atau "penerima istri" yang hierarkis seperti dalam sistem patrilineal. Prosesi pernikahan melibatkan kedua keluarga secara aktif.
  • Warisan: Pembagian warisan umumnya dilakukan secara adil kepada semua ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, sesuai dengan hukum yang berlaku dan kesepakatan keluarga.
  • Musyawarah dan Mufakat: Dalam pengambilan keputusan keluarga maupun komunitas, prinsip musyawarah dan mufakat (silih asah, silih asih, silih asuh) sangat dijunjung tinggi. Keputusan diambil berdasarkan kesepakatan bersama, melibatkan berbagai anggota keluarga.
  • Hormat kepada yang Lebih Tua: Sikap hormat kepada orang yang lebih tua (kolot) sangat ditekankan dalam budaya Sunda. Ini tercermin dalam bahasa (ada tingkatan bahasa hormat) dan perilaku sehari-hari.

Perbandingan dengan Sistem Patrilineal (Contoh: Karo):

Perbedaan mendasar dengan sistem patrilineal seperti pada Suku Karo terletak pada garis keturunan dan pewarisan nama/identitas. Dalam sistem patrilineal, anak-anak mewarisi marga dari ayah dan garis keturunan ditarik melalui pihak laki-laki. Dalam sistem bilateral Sunda, tidak ada marga yang diwariskan dan kedudukan keluarga dari pihak ayah dan ibu adalah setara.

Kesimpulan:

Sistem kekerabatan Suku Sunda yang bilateral menekankan pada keseimbangan peran dan hak antara pihak ayah dan ibu. Fokus utama adalah pada keluarga inti dan hubungan yang luas namun setara dengan keluarga besar dari kedua belah pihak. Prinsip musyawarah, hormat kepada yang lebih tua, dan keadilan dalam keluarga menjadi ciri khas sistem kekerabatan masyarakat Sunda.

Adat dan Budaya:

Suku Sunda memiliki adat dan budaya yang kaya dan beragam, yang tercermin dalam berbagai aspek kehidupan:

  • Falsafah Hidup: Masyarakat Sunda dikenal dengan falsafah "Someah" (ramah dan sopan), "Cageur" (sehat), "Bageur" (baik hati), "Bener" (benar), dan "Singer" (bersemangat dan kreatif).
  • Upacara Adat: Berbagai upacara adat dilakukan dalam siklus hidup (kelahiran, sunatan, pernikahan, kematian) serta dalam kegiatan pertanian dan keagamaan. Beberapa contohnya adalah Ngaras (sungkeman), Saweran (taburan uang dan beras sebagai simbol kemakmuran), dan berbagai ritual pertanian.
  • Rumah Adat: Rumah adat Sunda memiliki ciri khas atap yang memanjang ke bawah, yang disebut "Julang Ngapak".
  • Pakaian Adat: Pakaian adat Sunda bervariasi tergantung pada acara dan status sosial, namun umumnya sederhana, sopan, dan terbuat dari bahan alami seperti katun.
  • Kesenian: Suku Sunda memiliki beragam seni tradisional yang terkenal, seperti:
    • Wayang Golek: Pertunjukan boneka kayu yang menceritakan kisah-kisah Ramayana dan Mahabarata.
    • Gamelan Sunda: Ensemble musik tradisional yang menggunakan berbagai alat musik pukul seperti saron, bonang, dan gong.
    • Kacapi Suling: Kombinasi alat musik petik kacapi dan suling yang menghasilkan melodi yang indah dan mendayu.
    • Tari Tradisional: Berbagai tarian seperti Tari Jaipong, Tari Merak, Tari Topeng, dan Tari Sampiung.
    • Sastra: Karya sastra Sunda klasik seperti Wawacan dan cerita pantun.
  • Kuliner: Masakan Sunda terkenal dengan penggunaan lalapan (sayuran mentah), sambal, dan rasa yang segar. Beberapa hidangan khas Sunda antara lain nasi timbel, sate maranggi, karedok, gado-gado Bandung, dan surabi.

Mata Pencaharian:

Sebagian besar masyarakat Sunda bermata pencaharian sebagai petani, memanfaatkan kesuburan tanah Jawa Barat untuk bercocok tanam padi, sayuran, teh, dan berbagai tanaman lainnya. Selain itu, banyak juga yang berprofesi sebagai pedagang, pengrajin, dan pekerja di sektor industri dan jasa.

Kehidupan Modern:

Saat ini, masyarakat Sunda telah berintegrasi dengan kehidupan modern, namun tetap berusaha untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi leluhur mereka. Bahasa Sunda masih aktif digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan berbagai kesenian tradisional terus dipelajari dan ditampilkan.

Meskipun kita berada jauh dari tanah Sunda, penting untuk menghargai dan memahami keberagaman budaya yang ada di Indonesia, termasuk kekayaan budaya Suku Sunda. Apakah ada aspek lain dari Suku Sunda yang ingin Anda ketahui lebih lanjut?